A. Pendahuluan
Sejak dahulu kala bahkan sejak adanya manusia di muka bumi ini, telah dikenal adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian mengadakan ikatan yang disebut dengan perkawinan. Walaupun cara dan bentuknya beraneka ragam mulai dari yang sangat sederhana sampai kepada yang sangat maju dan diatur oleh Undang-Undang atau peraturan Negara. Tumbuhnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dinamakan perkawinan itu adalah untuk memenuhi kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani dan kebutuhan sosial manusia. Perkawinan yang dibentuk perlu memiliki syarat-syarat suatu perkawinan agar tujuan dari perkawinan itu tercapai, terbentuknya suatu perkawinan yang bertanggung jawab dan kebahagiaan lahir dan bathin.
Dapatkah suatu keluarga yang sudah bahagia itu dikatakan tidak bertanggung jawab? Bagaimana perkawinan yang bertanggung jawab? Apa syarat-syaratnya?
B. Tujuan
Setelah membaca bahan ajar/materi ini, diharapkan mahasiswa memiliki:
1. Memiliki konsep yang jelas tentang perkawinan,
2. Memahami konsep-konsep dasar perkawinan,
3. Mengetahui syarat-syarat perkawinan yang syahmenurut Undang-Undang,
4. Memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih luas tentang perkawinan yang bertanggung jawab, dan
5. Memahami tentang keluarga dan tujuan berkeluarga.
C. Perkawinan
1. Pengetian Perkawinan
Perkawinan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalnya dari segi agama dan dari dari Undang-Undang perkawinan.
a. Perkawinan ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 (Departemen Kehakiman, 1982) mengemukakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)yang bahagia, kekal berdasarka Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari pengetian ini dapat disimpulakan bahwa perkawinan itu mepunyai tiga komponen penting yaitu: adanya ikatan bathin antara seorang pria dan wanita, tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal, dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Menurut Bagindo M. Letter (1983) perkawinan dari segi agama Islam merupakan aqad dengan upacara ijab qabul antara calon suami dan istri untuk hidup bersama sebagai suatu pertalian suci (sakral), untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga dalam memakmurkan bumi Allah yang luas ini.
Selanjutnya Sudarsono (1992: 118) mengemukakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan suci dan luhur antara seorang perempuan dan seorang laki-laki menjadi suami istri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantun.
2. Tujuan Perkawinan
Setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan mempunyai tujuan tertentu. Tujuan perkawinan pada setiap pasangan mempunyai perbedaan, misalnya tujuan mana yang akan dicapai terlebih dahulu tergantung pada kesepakatan antara pasangan. Secara umum tujuan perkawinan itu adalah untuk memperoleh kebahagiaan, ketentraman hidup, memperoleh ketenangan, memperoleh kasih sayang, mendapatkan keturunan yang sah sebagai penerus keluarga. Menurut Yaumil (1996) tujuan perkawinan adalah suatu titik permulaan dari suatu mata rantai kehidupan baru. Disebut kehidupan baru, karena sejak kedua individu itubersepakat untuk kawin maka secara tertulis ataupun tidak tertulis, diucapkan secara lisan ataupun hanya dibisikkan dalam hati, keduanya sebenarnya sepakat untuk menjalankan peran baru. Bukan lagi semata-mata sebagai individu yang bebas dan tunggal (single) tetapi sebagai suami istri yang terikat satu sama lain. Kehidupan baru itu pada dasarnya di,ulai denga persetujuan antara keduanya untuk membentuk suatu keluarga. Dalam kesatuan keduanya setuju untuk membagi (sharing) hidup bersama menghadapai keadaan susah maupun senang, untuk menyesuaikan diri satu sama lain, membina cita-cita dan tujuan hidup bersama, menuju kebahagiaan yang kekal.
Setiap pasangan yang melangsungkan pernikahan mempunyai tujuan yaitu untukmemperoleh kebahagiaan, ketentraman hidup, ketenangan, memperoleh kasih sayang, mendapatkan keturunan yang sah sebagai penerus keluarga. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dalimi Abdullah (1993: 5) yaitu:
1. Untuk membentuk keluarga yang baik, utuh, hidup penuh dengan kasih sayang.
2. Untuk mendapatkan keturunan yang sah sebagai pewaris dan pelajut keturunan.
3. Mewujudkan dambaan dari pembangunan bangsa secara keseluruhan yaitu rumah tangga yang sehat.
Lebih lanjut Sudarsono (1992: 195) mengemukakan tujuan dari perkawinan adalah:
1. Untuk membentuk kehidupam yang tenang, rukun dan bahagia.
2. Untuk menimbulkan rasacinta mencintai.
3. Untuk mendapatkan keturunan yang sah.
4. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah.
5. Dapat menimbulkan keberkahan hidup, dalam hal ini dapat dirasakan perbedaan hidup sendiri dan kehidupan keluarga, dimana penghematan akan mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.
6. Menenangkan hati orang dan famili, dan lain-lain.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera, keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
3. Syarat-Syarat Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia dankekalyang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Agar tujuan ini dapat tercapai perlu adanya syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh calon suami-istri.
Syarat-syarat perkawinan menurut UU. Perkawinan No. 1 tahun 1974 (Departemen Kehakiman, 1982) yaitu Pasal 6 sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua meninggal atau keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakankehendaknya.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang sah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, khususnya yang menyangkut persetujuan dari orang tua. Karena perkawinan yang tanpa persetujuan orang tua aka banyak mengalami masalah dalam hidup berkeluarga. Untukmencapai perkawinan yang bahagia diperlukan juga persiapan-persiapan baik dari pihak pria maupun pihak wanita antara lain persiapan mental persiapan fisik atau persiapan sosial.
Dadang Hawari (1996) menjelaskan bahwa ada beberapapersiapan perkawinan, yaitu:
1. Persiapan aspek fisik/biologik, antara lain:
a. Usia yang ideal menurut kesehatan dan program Keluarga Berncana adalah usia antara 20-25 tahun bagi wanita dan usia 25-30 bagi pria.
b. Kondisi fisik, adalah sehat jasmani dan rohani. Kesehatan fisik artinya tidak mengidap penyakit dan bebas dari penyakit keturunan.
2. Persiapan aspek psikologis, antara lain:
a. Kepribadian
Aspek kerpibadian penting agar masing-masing pasangan mampu saling menyesuaikan diri. Pasangan yang berkepribadian ”mature” dapat saling memberikan kebutuhan affeksuonal yang amat penting bagi keharmonisan keluarga.
b. Pendidikan
Taraf kecerdasan dan pendidikan juga perlu diperhatikan dalam mempersiapkan diri untuk menuju jenjang perkawinan, termasuk pendidikan agama, pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman agama itu dalam keluarga, sebab pada dasarnya perkawinan itu sendiri adalah merupakan perwujudan dari kehidupan berkeluarga.
c. Persiapan aspek Psikososial dan spritual, antara lain:
1) Agama
Faktor persiapan dari segi agama penting bagi stabilitas rumah tangga. Perbedaan agama dalam satu keluarga dapat menimbulkan masalah dan pada akhirnya mengakibatkan disfungsi perkawinan.
2) Latar belakang budaya
Perbedaan suku bangsa tidak merupakan halangan untuk saling berkenalan dan akhirnya menikah. Namun, faktor adat istiadat dan budaya ini perlu diperhatikan untuk diketahui oleh masing-masing pihak agar dapat saling menghargai dan menyesuaikan diri.
3) Latar belakang budaya
Latar belakang keluarga sangat penting untuk dipertimbangkan karena akan berpengaruh pada kepribadian anak yang dibesarkan dalam keluarga tersebut. Pembentukan kepribadian anak dimulai dari rumah tangga.
4) Saling mengenal
Sebagai persiapan menuju perkawinan masing-masing pasangan diharapkan saling kenal mengenal. Kesucian pra-nikah hendaknya tetap terpelihara dan jangan sampai terjadi hubungan seksual sebelum nikah.
5) Pekerjaan dan kondisi materi
Dalam mempersiapkan perkawinan hendaknya diingatkan apakah sudah menyelesaikan pendidikan pada taraf tertentu. Apakah sudah siap tempat tinggal dan sudah mendapatkan pekerjaan tetap. Faktor sandang, pangan, dan papan jangan sampai dilupakan dala mempersiapkan perkawinan.
4. Syarat dalam Memilih Pasangan
Perkawinan tidak cukup kokoh hanya karena dukungan materi, status sosial, pangkat jabatan, sekalipun faktor tersebut dapat menjamin penampilan keluarga itu. Kemantapan keluarga ”ke dalam”, memerlukan dukungan lainyaitu berupa kualitas tinggi dari hubungan antarpersonal (antar pribadi) di antara anggota keluarga.
Yaumil (1996) mengemukakan ada berbagai penelitian yan mempelajari faktor-faktor yang mendukung hubungan percintaan ke arah perkawinan. Dari penelitian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila dua sejoli itu menunjukkan beberapa kesamaan atau ”basic identity” maka kemantapan pilihan dan kelanggengan perkawinan akan lebih terjamin. Keluarga yang dibentuk seakan-akan didirikan di atas tiang-tiang yang kokoh dan permanen. Yang dimaksud dengan basic identity adalah persamaan mendasar yang terdapat pada diri kedua individu. Persamaan ini menyangkut:
1. Agama dan keyakinan.
2. Latar belakang adat istiadat dan sifat-sifat keluarga dari mana suami isteri itu berasal.
3. Tingkat kehidupa sosial ekonomi keluarga masing-masing.
4. Usia.
5. Kecerdasan dan pendidikan.
Makin banyak ditemukan persamaan yang melatarbelakangi kehidupan suami istri itu, maka makin mudah terdapat saling pengertian antara keduanya. Dalam memilih pasangan perlu diperhatikan persyaratan psikologis dari calon suami istri tersebut. Hurlock (1992) mengemukakan bahwa setiap pasangan yang aka menikah perlu memiliki kedewasaan psikis antara lain memiliki emosi yang stabil, bisa mandiri dalam tanggung jawab, mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas, produktif dan kreatif, terintegrasi seluruh komponen psikisnya serta bersikap etis dan religius. Dengan memiliki kedewasaan psikis maka kestabilan dan keseimbangan psikis akan tercapai dan akhirnya kebahagiaan hidup berkeluarga dapat dirasakan oleh pasangan tersebut.
Selanjutnya dikemukakan ketidakmatangan emosi dalam perkawinan ditandai oleh:
1. Ingin tetap betunangan.
2. Tidak ingin punya anak.
3. Menerima lawan seks dengan rendah diri.
4. Berbuat luar biasa dala seks.
5. Menganggap seks itu biadab, penuh dengan dosa.
6. Merasa cemburukarena menganggap diri kurang menarik.
7. Meminta jaminan dalam percintaan.
8. Ingin tetap tinggal bersama orang tua.
9. Mencari pengganti orang tua untuk membantu.
10. Mengharapkan kesenangan dalam perkawinan.
Ketidakmatangan emosi untuk melangsungkan perkawinan dapat nenimbulkan berbagai permasalahan dalam kehidupan keluarga. Kemandirian pasangan untukmembina kehidupan keluarga tidak dapat dicapai sesuai dengan tujuan perkawinan yang telah direncanakan pasangan. Dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga hendaknya dapat memberi sumber kehidupan lahir bathin bagi satu sama lain.
5. Permasalahan dalam Memilih Pasangan
a. Orang yang agresif dan sadis vs orang yang bertahan dan pemurung/ menerima.
Masalah yang dapat muncul apabila pasangan ini bersatu, yaitu:
1) Adanya pihak yang merasa tertekan dan merasa dirugikan.
Situasi ini dapat kita lihat seperti suami yang kejam cendrung menekan istri yang pendiam dan bertahan. Hal ini jelas si istri akan tertekan dan merasa dirugikan, sebagai akibatnya istri akan menimbun perasaannya dan akhirnya akan muncul sikap-sikap yang tidak wajar dan penderitaan yang berkepanjangan.
2) Ketidakpuasan.
Dengan adanya penekanan yang sebelah pihak dan tidak berimbang, maka satu pihak akan merasa tidak puas baik secara fisik maupun psikis, misalnya dalam hubungan seksual. Sebagai akibatnya pihakyang ditekan akan berusaha mencari kepuasan di tempat lain yang nantinya akan dapat menimbulkanpermasalahan baru yang akan menyebabkan retaknya keharmonisan keluarga.
3) Timbulnya rasa keterpaksaan.
Dengan perlakuan agresif dari salah satu pihak, maka pihak yang bertahan dan pemurung akan merasakan perkawinan mereka sebagai suatu keterpaksaan saja yang mana dia hanya merasa sebagai pelayan dan patuh terhadap pihak yang agresif. Hal ini jelas akan menimbulkan kekakuan dalam rumah tangga yang pada akhirnya akan menyebabkan hancurnya keharmonisan rumah tangga.
b. Orang yang memiliki rasa percaya diri dan suka melepasakan emosi vs orang yang mempertahankan cinta.
Kemungkinan masalah yang muncul:
1) Ketidaktulusan dalam menjalin perkawinan.
Seseorang yang mempertahankan cinta dengan idealismenya akanmembawa dirinyake dalam keterpurukan, di mana nantinya dia akan merasakan keterpaksaan dala menjalankan tugas rumah tangga serta hilangnya keikhlasan diri. Pada akhirnya akan melahirkan kebencian yang jelas akan memunculkan akibat-akibat negatif.
2) Hilangnya keterbukaan dalam komunikasi.
Dari kombinasi ini dapat muncul komunikasi yang hanya bersumber dari satu arah saja yang jelas tidak stabil. Dengan demikian demokrasipun tidak dapat ditumbuhkan dalam keluarga dan terjadi pemaksaan kehendak dari satu pihak serta akhirnya menimbulkan keengganan di pihak lain. Selain itu juga tidak akan ada rasa menghormati di antara keduanya.
3) Adanya pihak yang merasa dirugikan.
Bersumber dari komunikasi yang hanya satu arah saja maka dapat muncul suasana di mana orang yang cendrung mempertahankan cinta akan merasa dirugikan karena pihak lain merasa benar sendiri dan tidak mempertimbangkan perasaannya.
c. Saling berusaha untuk mendominasi perasaan.
Kemungkinan masalah yang muncul:
1) Sering terjadi pertengkaran.
Dengan adanya saling mendominasi dalam hubungan rumah tangga, maka akan dapat menimbulkan pertengkaran-pertengkaran yang semakin menegangkan dan kedua pihak yang sama-sama ingin menang sendiri dan tidak mau mengalah.
2) Hambarnya hubungan suami istri
Adanya saling mendominasi menyebabkan kedua belah pihak mempersalahkan pihak lain. Hal inimenyebabkan komunikasi di antara keduanya tidak lancar dan tidak harmonis. Ini jelas menghilangkan rasa kasih sayang yang pada akhirnya akan menghilangkan kegairajan yang nantinya bermuara pada hilangnya rasa bahagia berumah tangga.
3) Munculnya suasana tegang.
Suasana runah tangga yang harmonis dan menyenangkan sulit terlihat dengan adanya saling mendominasi perasaan. Sebagian besar dari waktu di rumah diwarnai dengan pertengkaran dan perdebatan sehingga kehidupan keseharian mereka sulit ditemui suasana damai dan mesra. Mereka merasa diri masing-masing mereka harus dihormati dan sulit muncul keinginan untuk memulai komunikasi yang harmonis.
d. Orang yang mengalami guncangan emosi vs orang yang sangat pemikir.
Kemungkinan masalah yang muncul:
1) Mengacuhkan keberadaan pasangan.
Terkadang dalam komunikasi pasangan ini,salah satu di antara mereka lebih memandang rendah pasangannya sehingga sering mengacuhkan keberadaannya. Pasangan sering tidak dilibatkan dalam mengambil suatu kebijaksanaan dalam rumah tangga.
Hal ini sangat berbahaya bagi keutuhan runah tangga, karena salah satu merasa kehadirannya tidak berarti, maka dia akan mencoba mencari tempat di mana ia dapat diterima dan lebih berarti sebagai suatu kompensasi dari permasalahan yang dialaminya.
2) Jarang berkumpul bersama.
Keluarga adalah lingkungan sosial yang terdekat dengan diri kita. Kita hidup di dalamnya dan berinteraksi setiap saat. Namun jika terjadi kombinasi seperti pasangan ini suasana interaksi sulit diwujudkan karena jarangnya mereka berkumpul bersama. Di antara mereka telah menipis kepercayaan dan saling menghargai. Suasana yang ada hanyalah kejenuhan yang dapat menjadi awal retaknya hubungan suami istri dan dapat membuka kemungkinan terjalinnya hubungan dengan pasangan di luar perkawinan.
3) Kurang menghargai pasangan.
Adanya perasaan bahwa pasangan merupakan orang yang tidak bisa diharapkan apa-apa dari dia akan menyebabkan kita tidak menghargai perasaan pasangan. Dari sini akan muncul berbagai sikap yang justru nantinya menyebabkan salah satu sakit hati, misalnya kita cendrung mencemooh dan tidak dapat menerima pemikiran pasangan kita sehingga akhirnya pasangan akan betul-betul merasa kehadirannya tidak berarti.
e. Orang yang ragu-ragau, tidak berdaya vs orang-orang yang memiliki tanggung jawab dalam kegagalan/ kecewa dalam hasrat cintanya.
Masalah yang akan muncu antara lain:
1) Kurang percaya terhadap pasangan
Pasangan ini sering diwarnai suasana pesimistis dan ketidakpercayaan sehingga mereka sering dihantui rasa curiga dan was-was. Suasana ini dapat menimbulkan kelesuan hubungan suami istri yang dapat muncul dalam berbagai bentuk dan di segala suasana termasukdalam hubungan seksual, sehingga akhirnya akan muncul kekecewaan di dala rumah tangga.
2) Hilangnya kehangatan hubungan.
Dalam suatu perkawinan hubungan suami istri adalah hal yang paling pokok yang menentukan kebahagiaan rumah tangga. Pasangan ini sama-sama memiliki keinginan untuk dilayani. Hal ini jelas menyebabkan keduanya bersikap pasif dan mengharap. Ini dapat menimbulkan hilangnya kehangatan hubungan perkawinan yang jelas mempengaruhi kebahagiaan kedua pasangan karena pada akhirnya keduanya merasa tidak dicintai.
3) Komunikasi terganggu.
Dari situasi pasangan seperti ini menimbulkan suasana kaku dalam rumah tangga dan komunikasi yang tidak bagus. Pasangan ini sering mengalami kebuntuan dalam komnikasi. Masing-masing mereka enggan untuk menimbulkan suasana harmonis dalam komunikasi. Hal ini tentunya dapat juga berakibat pada berbagai macam bentuk kompensasi.
D. Ringkasan
Perkawinan meruapakan suatu hal yang sakral, suci dan luhur. Ada tiga komponen penting yang ada dalam suatu perkawinan yaitu adanya ikatan bathin antara seorang pria dan seorang wanita, yang tujuannya membentuk keluarga bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan perkawinan pada setiap pasangan mempunyai perbedaan, tergantung pada kesepakatan antara pasangan. Secara umum tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh kebahagiaan, ketentraman hidup, memperoleh kasih sayang, mendapatkan keturunan yang sah sebagai penerus keluarga.
Syarat yang perlu dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan yaitu persiapan aspek fisik (biologis), aspek psikologis, persiapanaspek psikososial dan spiritual untuk membentuk suatu perkawinan. Menurut Yaumil (1996) bila kedua orang itu menunjukkan beberapa kesamaan (basic identity) yaitu persamaan dalam agama, dan keyakinan, latar belakang adat istiadat dan sifat-sifat keluarga, tingkat kehidupan sosial ekonomi keluarga, usia serta serta kecerdasan dan pendidikan.
Ketidakmatangan emosional dala perkawinan dapat menimbulkan berbagai permasalahan dalam kehidupan keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar
Saya Berharap Komentar/ kritik yang membangun oleh Rekan-rekan yang mengunjungi blog ini, Agar dapat lebih baik. Terimakasih